Kawan Berjalan: A Self Reflection

Alangkah beruntungnya mereka yang menemukan kawan berjalan yang panjang langkahnya sama. Lebih beruntung lagi apabila langkah keduanya seirama.

Postingan yang kutulis pada 30 November 2014 di atas adalah yang paling berkesan karena barangkali bisa menjadi refleksi atas segala perasaan hati dan pemikiranku selama setahun belakangan ini. Memanglah benar betapa susah mendapatkan kawan berjalan yang semacam itu. Dengan cara yang keras/ susah kusadari hal demikian; memang benar pula bahwa kita baru akan menyadari arti pentingnya keberadaan seseorang bagi kita setelah kita kehilangan dia.

Tadi malam aku menonton lagi film “Doraemon: Stand By Me” untuk kedua kalinya. Lalu kusadari kembali akan satu hal: bahwa barangkali aku seperti Nobita, yang baik sadar maupun tak sadar menyabotase diri sendiri karena beranggapan bahwa seseorang bisa jadi akan lebih baik dan bahagia ketika kita tidak bersamanya. Rasa-rasanya aku ingin menangis pada saat adegan itu, kawan, tetapi…

♪ Malu sama kucing.. ♪ Meong ♪ meong ♪ meoong.. ♪

Andai saja sudah sejak lama aku mengikuti serial Modern Family, barangkali kutipan dari salah satu episodenya bisa membuatku bertindak lain:

“Maybe we are the way we are because of the people we’re with. Or maybe we just pick the people we need. However it works, when you find each other, you should never let go.”

Aku pernah menyampaikan keluh kesah kepada seseorang yang kuanggap kakak. Dia menjawabnya dengan menceritakan ulasan mengenai salah satu novelnya Tere Liye yang berjudul “Rembulan Tenggelam di Wajah-Mu”. Katanya dari novel tersebut dapat diambil pelajaran: Betapa ketidakadilan hidup yang kita rasakan adalah bentuk prasangka buruk terhadap Tuhan. Percayalah bahwa senantiasa ada hikmah di balik segala peristiwa yang kita alami. Itulah rahasia hidup.

Tahun lalu pernah pula kuposting tulisan “Nasi Telah Pun Menjadi Bubur”. Tulisan itu belum selesai, memang. Bahkan sampai hari ini aku tidak mampu menyelesaikannya. Akan tetapi izinkanlah aku untuk sekadar menasihati diri sendiri:

Bersyukurlah selalu. Selagi kita mampu. Barangkali bubur adalah yang lebih bisa membuat kita kenyang, bukan nasi. Barangkali dengan kawan berjalan yang tidak selangkah dapat menjadikan kita menjadi lebih baik, bukan yang langkahnya seirama.

“Postingan ini diikut sertakan dalam lomba tengok-tengok blog sendiri berhadiah, yang diselenggarakan oleh blog The Ordinary Trainer”

4 pemikiran pada “Kawan Berjalan: A Self Reflection

  1. suka dengan kata-kata ini “Alangkah beruntungnya mereka yang menemukan kawan berjalan yang panjang langkahnya sama. Lebih beruntung lagi apabila langkah keduanya seirama.”
    salam kenal

    Suka

  2. Saya datang dan sudah membaca “Self Reflection” di blog ini
    Terima kasih telah berkenan untuk ikut lomba saya ya
    Semoga sukses

    Salam saya
    #103

    Suka

Tinggalkan Balasan ke nazhalitsnaen Batalkan balasan