Sebagai permulaan, izinkan aku untuk menyenandungkan sebait lagunya Jikustik “Saat Kau Tak Di Sini” berikut ini:
seperti bintang-bintang
hilang ditelan malam
bagai harus melangkah
tanpa kutahu arah
lepaskan aku dari
diare tak bertepi
saat kau tak di sini
Semenjak sembuh dari diare akut beberapa hari lalu, aku pun tidak mengonsumsi kopi lagi. Maka kuseduhlah teh “Bandulan” sebagai pengganti segelas kopi besar yang biasanya kunikmati di pagi hari. Penggantian ini bukannya tanpa harga, Saudara. Tanganku terbakar sebagai bayarannya.
Jadi kutuangkan teh yang fenomenal ini ke dalam saringan. Kemudian saringan kuletakkan di atas besar kesayanganku. Karena tidak ada cerek atau semacamnya, jadilah kujadikan cangkir kecil sebagai alat pengambil air panas dari tabung pemanas air. Air panas tersebut kutuangkan dari cangkir kecil tadi ke atas saringan yang berisi teh.
Setiap kali kulakukan hal itu tadi, setiap kali itu pula tangan kiriku terciprat air panas. Setiap kali! Bayangkan. Betapa konyol pagiku terisi.
“Banyak jalan menuju Roma”, begitu kata Bang Rhoma dalam sebuah lagunya. Begitu pula banyak cara untuk menyeduh teh. Caraku yang tadi adalah salah satu cara yang tidak sederhana dan cenderung berisiko tinggi. Tetapi cara itulah yang saat ini kunikmati dalam melakukannya. Bagaimana cara kalian dalam menyeduh teh?
Oke. Kata-kata yang terngiang-ngiang di benakku sepanjang hari ini adalah: cortana, scratch, elementaryos, @, dan persnickety. Bukan apa-apa, hanya ingin mendokumentasikan apa yang ada di pikiran. Sekian.