Hidup Menghidupi

Aku adalah orangnya yang tidak sependapat dengan kalian yang:

  1. menjadi anggota Gerombolan Penumpas Kebajikan; dan atau
  2. memiliki pemikiran bahwa kehidupan di dunia maya terlepas sama sekali dari dunia nyata.

Kan kalian tidak membuka Facebook di dunia mimpi? Kan si Pocong itu tidak lantas membuka Twitter di dunia kubur?

Seperti topeng, karakter orang itu bisa dibuka-pasang berkali-kali, berulang kali berganti. Seperti bunglon pula terkadang, tabiat orang bisa berubah tergantung lingkungannya.

Kawan pun demikian: di taman berbaikan, di lapangan menjadi lawan. Mereka itu datang dan pergi silih berganti, seperti musim layangan yang sebentar lagi tampaknya akan digeser oleh musim gundu. Persahabatan sejati, itulah yang kurindu.

Ada kalanya aku terlalu berusaha keras membangun sebuah persahabatan. Apakah ia sewujud dengan permen karet yang makin sering dikunyah makin keras jadinya?

“Hidup itu harus menghidupi,” begitu kata seorang kawanku almarhum.

Mengatasi Rasa Kecewa

Rasulullâh Muhammad SAW pernah mengajarkan:

“Ada tiga perkara dimana tidak seorang pun yang dapat terlepas darinya, yaitu prasangka, rasa sial, dan dengki. Dan aku akan memberikan jalan keluar bagimu dari semua itu, yaitu apabila timbul pada dirimu prasangka, janganlah dinyatakan, dan bila timbul di hatimu rasa kecewa, jangan cepat dienyahkan, dan bila timbul di hatimu dengki, janganlah diperturutkan.”

Semalam kubaca buku pinjaman dari seorang kawan yang berjudul “Kupinang Engkau dengan Hamdalah” karangan Mohammad Fauzil Adhim. Buku lumayan lawas, tapi masih tetap laku dan banyak peminatnya. Yang kubaca ini saja sudah cetakan yang keduapuluh dua. Bukunya belum genap kubaca sampai selesai bab satu. Padahal sudah lebih dari sepekan ini kupinjam. Padahal pula, baru kemarin aku berkata kepada seorang teman, buku yang dari orang lain justru seharusnya lebih kita prioritaskan untuk segera dikhatamkan dibandingkan dengan buku yang kita beli sendiri. Yah, memang dasar minat bacaku sudah semakin berkurang.

Ternyata ada juga hikmah yang bisa kuambil dari “wafatnya” komputerku tercinta. Aku menjadi semakin bergairah membaca buku-buku, baik itu buku pinjaman maupun buku yang telahlama kupunya. //Memang sesungguhnya Allâh tidak menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia.//

Aku di sini tidak ingin berbicara tentang pernikahan dan segala hal yang berhubungan dengannya. Aku ingin menyampaikan sesuatu tentang rasa kecewa. Sewaktu membaca penjelasan Fauzil Adhim mengenai bagaimana hendaknya kita bersikap ketika pinangan ditolak, tentang bagaimana mengelola kekecewaan yang mungkin timbul, aku mendapat sebuah pelajaran. //Sekali lagi, aku tidak akan membicarakan segala sesuatu mengenai pernikahan dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Jadi jangan bayangkan bahwa aku mengambil pelajaran karena pernah ditolak dalam meminang. Bukan, bukan itu.// Pelajaran mengenai bagaimana ajaran Islam menyikapi rasa kecewa dalam jiwa seorang manusia.

Ya, belakangan ini aku sedang dilanda kekecewaan. Kekecewaan kepada beberapa kawan baikku. Kekecewaan yang telah mencoreng lembaran putih persahabatan ini. Entah mengapa, kawan-kawanku ini membuatku kecewa. Ketika kuberi hadiah, mereka malah mencurigai pemberianku. Bukan mencurigai maksudku dalam memberi, bukan. Intinya, mereka tidak serta-merta menerima hadiah pemberianku. Bahkan akhirnya aku batal memberikannya.

Padahal menerima hadiah yang diberikan adalah salah satu hak dari sahabat menurut Khalil Al-Musawi dalam bukunya “Bagaimana Menyukseskan Pergaulan Anda.” //Lagi-lagi hikmah di balik “tewasnya” komputerku.//

Bukannya segera menerima pemberianku, mereka malah mencurigai barang yang kuberi. Mereka menanyakan hal-ihwal barang tersebut. Bagiku, itu namanya tidak mempercayaiku, tidak menghargaiku, dan lebih-lebih merendahkan harga diriku! //Padahal menurut Khalil Al-Musawi dalam buku yang sama, kepercayaan timbal-balik di antara sahabat merupakan lingkungan utama yang memungkinkan persahabatan tumbuh dan berkembang.//

Kecewa. Kecewa berat. Alangkah lebih baik jikalau mereka menerima barang pemberianku dahulu, baru kemudian bertanya.

Kekecewaan memang pahit. Orang sering tidak tahan menanggung rasa kecewa yang dialaminya. Mereka cenderung membuang jauh-jauh sumber kekecewaan tersebut. Begitu pula denganku. Aku berusaha menghindar dari mereka yang telah mengecewakanku. Aku berusaha menutupi rapat-rapat kekecewaanku itu, menekan rasa kecewa itu.

Namun ternyata itu tidak dikehendaki oleh Islam. Karena dengan bersikap seperti itu, suatu saat perasaan kecewa akan mudah bangkit lagi dengan rasa sakit yang lebih perih. Begitulah kira-kira apa yang disebutkan dalam buku “Kupinang Engkau dengan Hamdalah” tadi.

Sebagaimana dalam hadis yang disebutkan di awal tadi, rasa kecewa yang kita miliki janganlah cepat-cepat dienyahkan. Namun biarkanlah kekecewaaan itu menghilang pelan-pelan secara wajar. Dengan demikian, kita bisa mengambil jarak dari sumber kekecewaan, dan kita tidak kehilangan objektivitas serta kejernihan hati kita. Kalau kita bisa mengambil jarak, kita tidak terjerembab dalam subjektivitas yang tajam. Kita bisa menjadi tabah, meski proses untuk menghapus kekecewaan itu lebih lama daripada menekan rasa kecewa itu tadi.

Setelah mengetahui hal itu, hatiku menjadi sedikit tenang. Meski kekecewaan masih bersemayam di hati, setidaknya mulai sekarang aku tidak akan menekan rasa kecewaku itu melainkan sedikit-demi-sedikit menguranginya. Aku tidak akan lagi menghindari mereka. Sebisa mungkin akan kurajut kembali pintalan persahabatan di antara kami. Perlahan-lahan aku akan berusaha memaafkan mereka. Bukankah hak-hak sahabat juga di antaranya adalah memaafkan kesalahan dan kealpaannya?

Astaghfirullâhal ‘azhim….

Ya Allâh, kuatkanlah ikatan pertalian di antara hati-hati kami.
Abadikanlah kasih sayangnya.
Tunjukkanlah jalannya dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tidak pernah redup.
Lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakal kepada-Mu.
Hidupkanlah dengan ma’rifat-Mu.
Serta matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-Mu.
Ya Allâh, sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.
Âmîn.