We Have Never Been Too Close or Too Far to the Future

Tinta,
Tumpah ruah di meja
Meja kosong tanpa kertas
Yang ada hanya gelas

Kopi,
Tumpah ruah di kepala
Kepala kosong tanpa utas
Yang ada hanya getas

Menulis. Sudah lama tidak menulis. Maksudku … menuliskan isi kepala menggunakan bahasa manusia. Sudah hampir setahun ini belajar menuliskan isi kepala menggunakan bahasa perantara untuk memerintah mesin. Sebab itu, untuk berbahasa manusia kembali kemungkinan sedikit sulit.

Barangkali tidak akan seperti kemampuan naik sepeda, yang apabila kita sudah lama tidak melakukannya maka kemampuan itu tiba-tiba saja datang kembali ketika kita mencoba naik sepeda lagi; seolah-olah segala macam lecet di lutut dan robek di celana ketika belajar naik sepeda dulu … menjadi nyata kembali. Lanjutkan membaca “We Have Never Been Too Close or Too Far to the Future”

Baru Tahu: Sinestesia

Hai, pesemangat!

Kuberi kalian tahu akan sesuatu bernama sinestesia: bukan majas atau gaya bermetafora; bukan makanan apalagi mainan, melainkan sebuah fenomena bercampurnya dua rasa yang ditangkap oleh satu indra seakan-akan satu indra yang lain ikut pula merasakannya.

Apabila dengan anestesi/a/ kita mati rasa, maka dengan sinestesia kita mendengar suara sekaligus melihat warna. Terkadang dengannya kita menghidu suara, atau malah melihat aroma.

Kata sinestesia, angka itu berona dan aksara itu penuh warna. Tak ayal lagi, baginya musik serupa nyala kembang api di malam tanpa purnama.

Bahan bacaan:

Perkenalkan

Perkenalkan! Nama saya Seno.
Ketika tulisan ini dipublikasikan usia saya empat bulan kurang beberapa hari. Hari ini saya ingin menceritakan seluk beluk perjalanan hidup saya yang sudah cukup lama ini.

Oke, saya harus jujur. Nama saya di akta adalah Sena. Seperti nama perempuan? Terus kenapa?! Entahlah, barangkali karena Papa dan Mama saya waktu itu menginginkan anak perempuan tetapi ternyata yang lahir laki-laki. Atau barangkali Papa ingin balas dendam karena namanya pun seperti nama perempuan. Tetapi kata Papa saya diberi nama Sena agar lebih Indonesia-wi. Lihat saja di KBBI, adanya lema Sena tidak ada lema Seno. Meski begitu Papa tetap memanggil saya ‘Seno’ agar lebih Jawa-wi.

Nama: Seno, Umur: 4 bulan kurang beberapa hari
Nama: Seno, Umur: 4 bulan kurang beberapa hari

Sudah lihat lema nama saya di KBBI? Berarti sudah tahu, kan, kalau artinya adalah ‘tentara’? Mungkin dengan memberi saya nama itu Papa berharap kalau anaknya ini tangguh seperti tentara, kuat seperti prajurit. Tahu sendiri, kan, waktu lahir berat saya cuma satu kilo lebih lima ratus gram. Ringkih seperti ranting patah yang sudah kering, Papa bilang. Jadilah malam sebelum saya lahir Papa akhirnya semacam mendapatkan ilham untuk memberi saya nama itu.

Jadi tidak benar, ya, kalau ada yang mengatakan bahwa Papa memberi saya nama itu karena waktu saya lahir Papa sedang getol-getolnya menonton OK-JEK di televisi. Atau karena waktu itu sudah bertahun-tahun lamanya Papa menanti lanjutan kisah Pendekar Tanpa Nama dalam seri Nagabumi dari penulis kesukaannya. Lanjutkan membaca “Perkenalkan”

It’s Alright, Boy

Sudah kalian ketahui, barangkali, kalau perutku ini sedikit sensitif. Diberi susu sapi kebanyakan dikit saja atau diberi makanan sedikit pedas saja perutku ini langsung bereaksi dengan memuntahkan lahar encernya.

Setiap kali perutku demikian, entah mengapa aku selalu teringat sebuah lagu berikut ini yang kutemukan di Youtube beberapa tahun silam. Lagunya sangat menghibur, terutama pada masa-masa sulitku beberapa tahun lalu.

Berikut penggalan liriknya:

It’s alright, boy
I’m right here beside you
Take your time
And get her out of your mind
Hope you realize
She wasn’t right for you
Trust us, boy
We’re on this all day, oh hey

Lagu dengan nada-nada nan indah ini sungguhlah cocok bagi kita, kaum laki-laki, yang sedang sakit terutama sakit perut. Saat mendengarkan lagu ini, seakan-akan kita sedang dinasihati oleh ayah kita, bahwa beliau selalu di samping kita ketika kita sedang menderita dan dirundung duka. Seperti ayahku ketika itu, barangkali.

It’s alright, boy
You can cry it all out
Wash your memories
Allow the time to intrude
You were hungry
You had a terrible fruit
Trust us, boy
So she’ll be flushed from your life

Begitulah. Barangkali nanti, ketika anak lelakiku sudah sedikit besar… ketika ia sudah cukup umur untuk sekadar makan buah… dan dia makan buah yang hampir busuk, mungkin… lalu dia sakit perut… aku akan berkata kepadanya:

“Tak apa, boi. Menangislah. Engkau lapar, lalu oleh Mama diberi makan buah. Buahnya tidak cocok dengan perutmu. Percayailah Papa. Biarkan waktu berjalan, maka seketika ia akan lenyap dari hidupmu. Jangan lupa di-flush, ya.”

Entahlah. Itu nanti. Sekarang, dalam penantianku akan keberangkatan pesawatku, aku hanya bisa berbisik dan seolah-olah berkata kepada anak lelaki yang sedang berbaring lucu menanti dioperasi:

Hang in there, boy…

Berpisah dengan Berat

Ketika itu, kupikir tidak ada yang lebih berat untuk berpisah selain dengan orang tua. Ketika itu adalah ketika akan berangkat menuntut ilmu ke kota lain.

Setelah menikah dan terpaksa untuk sementara tinggal di dua kota berbeda, kupikir berpisah dengan istrilah yang paling berat.

Sekarang, tak perlu aku berpikir panjang untuk menyatakan bahwa saat inilah saat berpisah yang paling berat. Karena saat ini aku harus berpisah untuk sementara waktu dengan anakku.