Bungkus Hari Ini

Beginilah bungkusanku hari ini, Saudara.

Tadi coba-coba makan di warungnya pasta setelah pekan sebelumnya kecewa dengan pelayanan di warungnya pizza. Jadi waktu itu makan siang di warungnya pizza. Lebih dari tiga puluh menit bahkan pesanan minum tidak datang menghampiri. Sementara pesanan beberapa gadis di belakang meja kami satu demi satu sudah jadi. Kami pun dengan muka masam sedikit asin karena belum mandi langsung angkat kaki dan beranjak pergi.

Ketika kami menyeberang jalan di depan warung pizza itu untuk mendekati warung bento, dikejarlah kami oleh mas-mas pelayan warung pizza tadi. Kami kira dia akan meminta maaf atas kelambanan pelayanannya dan memohon kami untuk sudi kembali lagi. Eh, ternyata perkiraan kami tersebut hanyalah sekadar perkiraan tanpa pernah terbit menjadi sesuatu yang nyata karena mas-mas itu tadi malahan menagih kami untuk membayar makanan yang dipesan meskipun belum jadi. Silakan kalian bayangkan sendiri bagaimana kira-kira kami menghadapi situasi ini.

Bagaimana makan di warung pasta tadi? Enak. Dagingnya sedikit alot. Bisa jadi karena memang gigiku sedang sakit. Atau barangkali si sapi sudah terlanjur uzur saat digiring ke rumah potong sapi.

Tadi ada bapak-bapak memberikan informasi kalau ternyata bus 84 jurusan Pulogadung-Depok kalau akhir pekan begini hanya ada lima yang beroperasi. Dengan begitu berdasarkan ilmu statistik dan matematik jumlah segini adalah persis setengah dari jumlah bus yang beroperasa di hari kerja. Maka bagi siapa saja yang hendak ke Depok dan bosan menunggu di halte Arion, silakan mengambil jalur alternatif dengan naik bus 117 yang relatif lebih banyak tersedia. Adapun bus 117 ini adalah jurusan Pulogadung-BSD-Poris dan melewati Pasarrebo. Jadi bagi kalian yang hendak ke Depok tadi bisa turun di Pasarrebo untuk kemudian menyambung naik angkot merah berangka 19. Lanjutkan membaca “Bungkus Hari Ini”

Obrolan Pekan Ini: Bule Afrika

Kejadian ini berlangsung pada suatu Ahad siang di sebuah jalan raya kawasan Jakarta Timur. Pada saat itu udara cukup sejuk karena baru saja hujan berhenti turun. Seorang pemuda berjalan di trotoar sambil menelepon. Entah siapa pula yang diajaknya berbicara lewat telepon genggamnya itu. Sesekali sang pemuda melihat hilir mudik arus lalu lintas di sebelahnya. Sebuah angkot yang sedang melaju kencang pun tak luput dari lirikannya.

Maka kejadian ini pun pindah tempat di dalam angkot. Angkot ini ternyata sudah penuh. Di depan ada dua orang dewasa dan satu anak kecil di depan. Itu sudah termasuk supirnya. Sementara itu di bagian belakang terdapat dua belas orang dewasa dan satu anak kecil. Anak kecil yang terakhir ini dipangku oleh ayahnya yang duduk berhadap-hadapan dengan ibunya. Sementara itu, di samping ibunya duduklah seorang pria yang sepertinya adalah paman dari si anak kecil tadi.

Terjadilah percakapan berikut ini:

Anak Kecil: “Gerah nih, Yah.”

Ayah: “Gerah, ya?”

Ibu: “Sini Ibu lap.” \Mengeluarkan tisu dari dalam tasnya, lantas mengelap muka si anak yang bercucuran keringat.\

Paman: “Ah, lu adem-adem gini, gerah. Dulunya tinggal di Afrika, yak?”

Kejadian di angkot ini kusaksikan langsung dengan kedua belah telingaku sendiri yang lantas membuat gatal telinga kananku dan menjadikan panas telinga kiriku. Karena apa? Karena ada kejanggalan dari percakapan di atas. Kan begitu? 😀

Adalah Malam yang Menyebabkan

Aku adalah orangnya satu-satunya lelaki di dalam angkot selain bapak supir di depan sana. Maka wajarlah jikalau aku berada di antara kerumunan ibu-ibu yang hebohnya bukan kepalang seakan sedang berada dalam acara arisan ibu-ibu PKK.

Dalam keterhimpitanku di pojok belakang pada bagian empat dalam istilah Enam Empat, kulihat di belakang sana dua mobil pemadam kebakaran beriringan melewati perempatan jalan. Dengan melambaikan tangan, dua orang petugas damkar itu berdiri di atas blanwir meminta diprioritaskan dalam melintas meski sebenarnya jalurnya telah dihentikan lampu merah. Lanjutkan membaca “Adalah Malam yang Menyebabkan”

Obrolan Pekan Ini: Bulan Sesuatu

Purnama Memudar
Purnama Sesuatu Banget

Seorang bapak pelanggan sebuah bank swasta nasional marah-marah di meja customer service. Ia mengajukan komplain kepada seorang perempuan pegawai bank yang dinilainya lamban dan tidak becus bekerja.

“Mbak ini gimana sih? Baru ya di sini? Ngurus gitu aja lama!”

Dengan tenang pegawai bank yang dipanggil “Mbak” itu pun menjawab dengan logat Sundanya yang ramah sembari tersenyum. Lanjutkan membaca “Obrolan Pekan Ini: Bulan Sesuatu”

Obrolan Pekan Ini: Ramadan Bulan Penuh Ampunan

Sebuah angkot melaju dengan kencang di sebuah tikungan yang cukup ramai.

Penumpang Angkot: “Bang, Bang, ada yang mau naik, tuh.”

Begitulah, supir angkot pun menghentikan laju angkotnya.

Dari arah belakang seorang perempuan paruh baya tergopoh-gopoh menghampiri angkot, lantas naik ke dalamnya sembari mengomel.

Perempuan Paruh Baya: “Ih, Abang gimana sik? Tadi kan udah bilang ikut.”

Supir angkot pun menyambuti perkataan seorang perempuan paruh baya yang kini menjadi penumpangnya tersebut dengan santai sembari melajukan angkot kembali.

Supir Angkot: “Saya gak denger tadi, Bu. Ya maap.”

Perempuan Paruh Baya: “Eh, gimana sik si Abang? Capek nih jadinya. bla bla bla…

Supir Angkot: “Iya, khilaf saya, Bu. Maap. :D”

Perempuan Paruh Baya: “Oh, jadi khilaf ya? Iya deh, bulan puasa… Dimaapin deh.”

Apakah ini berarti kalau bulan sedang tidak puasa, perempuan paruh baya tersebut tidak akan memaafkan?

Obrolan Pekan Ini: Angkot Cepat

Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang sopir angkot yang setiap hari bekerja menaik-turunkan penumpang di sembarang tepi jalan. Berikut ini adalah sebuah kisah singkat tentang pahit getirnya kehidupannya. Selamat menyaksikan.

Pada suatu sore yang mendung, sebuah angkot berjalan pada jalanan sempit dua arah dan becek pula. Untunglah di situ tidak ada ojek. Angkot itu berjalan pelan-pelan bagaikan seekor bebek berjalan gontai. Sang sopir (pemeran utama pria) memberi tanda kepada pengendara motor pengangkut kotak roti (pemeran figuran) yang berlawanan arah untuk melintas duluan.

Tiba-tiba, dari belakang angkot itu meluncur sebuah mobil boks dengan kecepatan tinggi (dikemudikan oleh pemeran pengganti) lantas bermanuver sedemikian rupa sehingga angkot itu tersalipi. Pengendara motor pengangkut kotak roti itu pun terpaksa menepikan motornya guna menghindari hilangnya nyawa yang sangat mungkin terjadi.

Sungguh manuver penyalipan yang tangkas dan gesit. Sepertinya si sopir mobil boks masih saudara seperguruan dengan Kang Badi.

Hasil manuver penyalipan yang berlangsung demikian cepat hingga menyamai kecepatan kilat tersebut adalah cipratan air lumpur yang mengenai celana pengendara motor pengangkut kota roti dan sumpah serapah dari sang sopir angkot.

Sopir Angkot: “Dasar gila! ***ing! *utu *upret! ****sat!”

Ibu-ibu Penumpang Angkot (Pemeran Pembantu Wanita): “Astagpiruloh…”

Sopir Angkot: “Gila tuh, udah gila tuh, Bu.”

Ibu-ibu Penumpang Angkot: “Kalo saya mah kalo naik angkot pengennya nyang ngebut kayak begono tuh. Biar cepet sampe. Urusan selamet mah itu urusan Alloh.”

Sopir Angkot: “Gitu ya?” [cengok]

Demikian sekelumit kisah miris dan tragis seorang sopir angkot yang hidup pada zaman dahulu kala.

Hikmah yang dapat dipetik dari kisah ini adalah biarpun kita berfalsafah “biar lambat asal selamat”, kita harus menghargai orang yang berfalsafah “ngebut benjut”.

Sekian acara Obrolan Pekanan kali ini. Jumpa lagi pada lain kesempatan. Wassalam.